Rabu, 27 Oktober 2010

PENEGASAN TATALAKSANA KEMUDAHAN IMPOR TUJUAN EKSPOR (KITE) UNTUK PERUSAHAAN YANG TERGABUNG DALAM SATU KELOMPOK PERUSAHAAN

A. BENTUK PERUSAHAAN YANG TERGABUNG DALAM SATU KELOMPOK PERUSAHAAN :

Bentuk Perusahaan yang tergabung dalam Satu Kelompok Perusahaan yang dapat memperoleh KITE
adalah sebagai berikut : 
 
1. Kegiatan Impor, Ekspor, dan Pengajuan BCL.KT01/BCL.KT02 dilakukan oleh satu Perusahaan,
sedangkan kegiatan Proses Produksi dilakukan oleh Perusahaan lain.

2. Kegiatan Impor, Proses Produksi dan Pengajuan BCL.KT01/BCL.KT02 dilakukan oleh satu
Perusahaan, sedangkan kegiatan Ekspor dilakukan oleh satu Perusahaan lain.


B. PERSYARATAN UNTUK MENDAPATKAN STATUS KELOMPOK PERUSAHAAN :

1. Perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Satu Kelompok Perusahaan harus mempunyai
ikatan hukum dan bergerak di bidang kegiatan yang khusus dilakukan dalam lingkup
Kelompok Perusahaan tersebut yang dicantumkan dalam akte notaris.

2. Status Kelompok Perusahaan diberikan kepada kelompok perusahaan yang benar-benar
mempunyai ikatan kerja Proses Produksi, bukan untuk kelompok kerja yang hubungannya
bersifat jual-beli (trading).

3. Status Kelompok Perusahaan hanya diberikan kepada kelompok perusahaan yang tergabung
dalam satu Proses Produksi (production line) dengan mencantumkannya dalam DIPER.

4. Permohonan NIPER Kelompok Perusahaan diajukan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai
u.p. Direktur Fasilitas Kepabeanan melalui Kepala Kantor Wilayah oleh Perusahaan yang
melakukan impor.

5. Persetujuan Kelompok Perusahaan hanya diberikan kepada Perusahaan yang tercantum pada
DIPER.

6. Tatakerja Penerbitan NIPER Kelompok Perusahaan diatur dalam Lampiran Surat Edaran ini.

C. PROSES PELAKSANAAN KEGIATAN KELOMPOK PERUSAHAAN :

1. Untuk Kelompok Perusahaan sebagaimana dimaksud pada butir A.1:

  a. Permohonan Pembebasan dan/atau Pengembalian diajukan oleh Perusahaan yang
melakukan impor barang atau bahan.

  b. Dalam hal Pembebasan, PIB dan Jaminan diserahkan oleh Perusahaan yang
melakukan impor barang atau bahan.

  c. Impor/Ekspor barang yang berkaitan dengan Kelompok Perusahaan diberitahukan
dengan PIB/PEB tersendiri dengan pelaporan BCL.KT01/BCL.KT02 terpisah antara
penggunaan untuk kegiatan perusahaan masing-masing dan sebagai Kelompok Perusahaan

2. Untuk Kelompok Perusahaan sebagaimana dimaksud pada butir A.2:

  a. Permohonan Pembebasan dan/atau Pengembalian diajukan oleh Perusahaan yang
melakukan impor barang atau bahan.

  b. Dalam hal Pembebasan, PIB dan Jaminan diserahkan oleh Perusahaan yang
melakukan impor barang atau bahan.

  c. Impor/Ekspor barang yang berkaitan dengan kegiatan Kelompok Perusahaan
diberitahukan dengan PIB/PEB tersendiri dengan pelaporan BCL.KT01/BCL.KT02
terpisah antara penggunaan untuk kegiatan perusahaan masing-masing dan sebagai
Kelompok Perusahaan. Dalam PEB dimaksud harus dicantumkan nama perusahaan
pengekspor qq perusahaan yang melakukan impor dan proses produksi.

  d. Penyerahan barang dari perusahaan yang melakukan impor dan/atau proses produksi
ke perusahaan yang melakukan ekspor harus dilindungi dengan SSTB (Surat Serah
Terima Barang).

  e. Dalam hal diperlukan, dalam proses sebagaimana dinyatakan dalam butir c dapat
dilakukan pemeriksaan fisik barang.

D. PENGAWASAN

Pengawasan terhadap kegiatan Perusahaan yang tergabung dalam Kelompok Perusahaan dilakukan
antara lain dengan cara Audit Kepabeanan terhadap seluruh Perusahaan yang tergabung dalam
Kelompok Perusahaan tersebut.
 
(kutipan)

Selasa, 26 Oktober 2010

Audit Kepabeanan

Audit kepabeanan (selanjutnya disebut Audit) adalah pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, dan atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan. Dasar hukum pelaksanaan audit ini adalah pasal 86 UU No 17/2006 tentang Kepabeanan. Audit dilakukan oleh auditor dari DJBC atau bersama-sama dengan auditor dari instansi lainnya yang terkait.

Secara umum audit kepabeanan dikategorikan ke dalam tiga kondisi. Yang pertama adalah audit umum. Yaitu audit dengan ruang lingkup pemeriksaan lengkap dan menyeluruh terhadap pemenuhan kewajiban kepabeanan. Audit jenis ini biasanya dilakukan secara reguler dan terencana dalam sebuah dafar obyek audit oleh DJBC dengan pertimbangan tertentu (seperti manajemen resiko, profil komoditas, volume transaksi dan sebagainya). Pada dasarnya seluruh pengguna jasa kepabeanan (importir, eksportir, PPJK) akan diuji kepatuuhannya terhadap undang-undan melalui pelaksanaan audit jenis ini.
Jenis audit yang ke dua adalah audit khusus. Yaitu audit dengan ruang lingkup pemeriksaan hanya terhadap pemenuhan kewajiban kepabeanan tertentu. Dengan kata lain, audit hanya dilakukan terhadap transaksi atau beberapa transaksi tertentu saja. Audit ini umumnya tidak direncanakan dalam daftar obyek audit sebelumnya. Namun tidak tertutup kemungkinan audit ini meningkat statusnya menjadi audit umum apabila hasil pengolahan dan analisis data yang dilakukan menunjukkan bahwa seluruh transaksi harus diperiksa.
Ketiga adalah audit investigasi. Audit ini dilakukan terkait dengan adanya dugaan tindak pidana bidang kepabeanan yang dilakukan pengguna jasa kepabeanan. Karena sifatnya yang investigatif maka audit ini dilakukan dalam rangka memperoleh bukti awal tindak pidana sebagai dasar untuk dilakukannya proses penyidikan.
Audit kepabeanan dilakukan oleh sebuah tim audit yang bekerja berdasarkan surat tugas/surat perintah audit yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal/Direktur Audit/Kepala Kantor Wilayah DJBC. Pelaksanaan audit harus selesai dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya surat tugas/surat perintah. Jangka waktu tersebut adalah jangka waktu yang diberikan kepada tim audit untuk menyelesaikan proses audit sampai dengan diterbitkannya Laporan Hasil Audit.
Audit kepabeanan dilakukan terhadap :
- Importir (umum dan produsen, fasilitas/non fasilitas)
- PPJK
- Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara
- Pengusaha Tempat Penimbunan Berikat :
- Pengusaha Gudang Berikat
- Pengusaha Kawasan Berikat
- Pengusaha Di Kawasan Berikat
- Pengusaha Toko Bebas Bea (Duty Free)
- Pengusaha Entrepot Tujuan Pameran
- Eksportir
- Pengusaha Pengangkutan

Tahapan Pelaksanaa Audit
Pekerjaan Lapangan :
Yang dimaksud adalah pelaksanaan audit yang dilakukan on the spot, di tempat auditee. Paling lama dilakukan 30 (tiga puluh ) hari kerja. Tahap ini meliputi kegitan penyampaian surat tugas/surat perintah dan observasi serta tahap pengumpulan data dan informasi. Pada periode tersebut tim audit akan menyerahkan surat tugas/surat perintah, surat permintaan data, kuesioner, serta surat-surat lainya yang terkait dengan proses pengumpulan data dan informasi. Selain itu juga akan dilakukan pencacahan fisik terhadap sediaan barang (stock opname). Stock opname dilakukan dalam rangka pengujian secara meterial maupun eksistensial atas data dan informasi yang telah diterima auditor.
Pekerjaan Kantor:
Yang dimaksud adalah periode di mana secara ‘resmi kedinasan’ tim audit sudah harus menyelesaikan masa kunjungan ke tempat auditee dan mulai menyusun kertas kerja audit, melakukan konfirmasi, menyusun daftar temuan sementara (DTS), serta mempersiapkan Laporan Hasil Audit. Kegiatan ini dilakukan tim audit di kantornya.

Tahapan Proses Audit
Permintaan Data :
Setelah menyerahkan berkasi surat tugas/surat perintah audit, tim audit akan menyampaikan surat permintaan data yang berisi rincian data yang akan ‘dipinjam’ untuk diperiksa sesuai dengan periode auditnya. Hal ini biasanya dilakukan setelah aduitor mendapatkan penjelasan umum mengenai aktivitas auditee, profil, sistem transaksi, serta Sistem Pengendalian Internalnya. Auditee wajib menyerahkan segala data, catatan, laporan, dan pembukuan yang diminta oleh tim audit. Khusus utuk audit investigasi, tim audit dapat melakukan tindakan pengamanan atau tindakan di bidang kepabesanan lainnya berupa penegahan alat angkut, penyegelan barang dan atau tempat yang diduga terkait tindak pidana. Orang yang menyebabkan kewenangan audit ini tidak dapat berjalan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Ro 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

Daftar Temuan Sementara (DTS) :
Atas data yang telah diterima dari auditee tim audit melakukan pengolahan dan analisis berupa pengujian material atas dukumen maupun pengujian eksistensi sediaan barang. Hasil proses ini adalah Kertas Kerja Audit (KKA). Jenis-jenis KKA bergantung kepada luas pemeriksaan dan jenis/karakter auditee. Atas serangkaian KKA ini tim audit akan menarik kesimpulan sementara yang dituangkan ke dalam Daftar Temuan Sementara (DTS). DTS ini berisi aktivitas audit yang telah dilaksanakan (kolom 2), temua audit (kolom 3), rekomendasi tim audit (kooom 4), serta tanggapan auditee (kolom 5). Pada dasarnya DTS adalah intisari kegiatan audit yang telah dilaksanakan yang berisi temuan (sementara) hasil audit beserta rekomendasi atas temuan itu.
DTS diserahkan oleh tim audit kepada auditee. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan kepada auditee untuk menyampaikan tanggapan apabila terdapat temuan tim audit yang menurut auditee tidak tepat atau salah. Jangka waktu penyampaian tanggapan DTS ini setelah tanggal diterimanya adalah 7 (tujuh) hari kerja. Apabila dalam jangka waktu itu auditee tidak menyampaikan tanggapan, maka dianggap telah menyetujui seluruh temuan dalam DTS. Auditee dapat mengajukan perpanjangan tanggapan selama 7 (tujuh) hari kerja.
Apabila Auditee menyetujui seluruh temuan dalam DTS, maka harus mengisi dan menandatangani surat pernyataan persetujuan DTS di atas materai Rp 6.000,00. Apabila menyanggah salah satu atau semua temuan dalam DTS auditee dapat menuliskannya pada kolom 5 dengan ketidaksetujuan.
Atas ketidaksetujuan tersebut tim audit akan mengadakan Pembahasan Akhir (closing conference) yang melibatkan seluruh anggota tim audit dan perwakilan dari pihak auditee. Di dalamnya akan dibahas kembali temuan dan akan diuji kembali bukti-bukti yang diajukan auditee sehubungan dengan tanggapannya tersebut. Hasil dari pembahasan akhir akan berisi kesimpulan temuan-temuan audit yang disetujui auditee, dibatalkan tim audit, dan atau temuan yang dipertahankan tim audit.
Catatan : DTS tidak diperlukan dalam hal :
- audit khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan bea dan cukai;
- audit investigasi.

Penyusunan Laporan Hasil Audit (LHA)
LHA disusun berdasarkan DTS yang telah ditanggapi. Apabila auditee tidak mengajukan keberatan atas DTS (atau tidak memberikan tanggapan sama sekali dalam batas waktu yang dtentukan) maka LHA merupakan penjabaran dari DTS. Dalam hal telah dilakukan pembahasan akhir, maka LHA didasarkan atas risalah dari hasil pembahasan akhir tersebut.
Untuk audit khusus dan audit investigasi, LHA disusun tanpa proses DTS terlebih dahulu. LHA disampaikan kepada auditee dalam bentuk pendek (kesimpilan dan rekomendasi). Sedangkan LHA dalam bentuk panjang (Lengkap) hanya untuk keperluan internal bea dan cukai.

Tindak Lanjut Hasil Audit
Berdasarkan LHA yang telah diterbitkan, Direktur Jenderal Bea dan Cukai menerbitkan :
1. Surat penetapan hasil audit yang menetapkan jumlah bea masuk, PPN, PPh, PPnBM, Cukai, dan sanksi administrasi yang harus dibayar oleh auditee. Selanjutnya kantor bea cukai setempat akan menerbitkan Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran (SPKP) kepada auditee. Atas SPKP itu auditee melakukan pembayaran di bank devisa dan melaporkan pelunasannya kepada kantor bea cukai penerbit.
2. Rekomendasi-rekomendasi terkait dengan hasil dan jenis auditnya.

Wewenang tim audit dan keweajiban auditee
Wewenang tim audit
Sebagaimana diatur dalam pasal 86 ayat (1a) dalam melaksanakan audit kepabeanan tim audit memiliki kewenangan untuk :
1. Meminta laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, surat yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan (termasuk data elektronik), serta surat yang berkaitan di bidang kepabeanan;
2. Miminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari orang dan pihak lain yang terkait;
3. Memasuki bangunan kegiatan usaha, ruangan tempat untuk menyimpan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan surat-surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk sarana/media penyimpan data elektronik, dan barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan;
4. Melakukan tindakan pengamanan yang dipandang perlu terhadap tempat atau ruangan penyimpanan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan kepabanan dimaksud.

Kewajiban auditee saat diaudit :
1. Menyerahkan data audit (laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, surat yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan (termasuk data elektronik), serta menunjukkan sediaan barangnya untuk diperiksa (harus);
2. Memberikan keterangan lisan/tertulis (harus);
3. Menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya auditee apabila penggunaan data elektronik memerlukan peralatan dan atau keahlian khusus (harus);

Sanksi kepabeanan berkaitan dengan pelaksanaan audit.
Undang-undang kepabeanan memberikan sanksi administrasi terhadap auditee yang menyebabkan tim audit tidak dapat menjalankan kewenangannya, berupa denda sebesar Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

(kutipan)

Pengajuan Laporan Ekspor

Dalam laporan ekspor/BCL-KT01 yang disampaikan perusahaan terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian yaitu pertama, menurut hemat penulis selama ini banyak perusahaan yang melaporkan laporan ekspor (BCL-KT01 untuk laporan penggunaan barang dan/atau bahan asal impor yang mendapat pembebasan BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut asal ekspor) tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Dalam laporan ekspor, pemakaian bahan baku umumnya senantiasa dilaporkan 100% habis terpakai, padahal terdapat sisa bahan baku dan bahan baku yang rusak (waste). Karena sisa bahan baku dan bahan baku yang rusak ikut dilaporkan dalam laporan ekspor, maka saat laporan ekspor disetujui oleh KITE (terbit SPPJ), maka sudah tidak ada saldo bahan baku lagi yang harus dipertanggungjawabkan perusahaan (menurut KITE), maka jaminan pun dikembalikan ke perusahaan. Padahal, realita di perusahaan masih ada fisik atas sisa bahan baku dan bahan baku yang rusak. Sesuai aturan dalam Kep Dirjen, seharusnya perusahaan melakukan laporan tersendiri atas penyelesaian sisa bahan baku dan bahan baku yang rusak yaitu:


1. Apabila dijual, perusahaan membuat laporan BCL-KT01 untuk laporan penggunaan barang dan/atau bahan asal impor yang mendapat pembebasan BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut asal penjualan hasil produksi yang rusak, bahan baku yang rusak, hasil produksi sampingan, sisa hasil produksi ke DPIL.

2. Apabila dimusnahkan, perusahaan membuat laporan BCL-KT01 untuk laporan penggunaan barang dan/atau bahan asal impor yang mendapat pembebasan BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut asal pemusnahan hasil produksi yang rusak, bahan baku yang rusak, hasil produksi sampingan, sisa hasil produksi ke DPIL.

3. Apabila sisa bahan baku diselesaikan dengan cara membayar saldo yang masih harus dipertanggungjawabkan, perusahaan membuat laporan BCL-KT01 untuk laporan penyelesaian bahan baku asal impor yang belum diselesaikan ekspornya.

Pada umumnya atas pemakain bahan baku mesti terdapat sisa bahan baku dan bahan baku yang rusak, maka KITE dapat meminta data tersebut (prosentase waste) saat pengajuan Skep. Penulis pernah mendapati perusahaan yang telah melaporkan seluruh penggunaan bahan baku dalam laporan ekspornya dan karena terdapat ada sisa bahan baku dan bahan baku yang rusak, maka perusahaan melakukan pemusnahan atas sisa bahan baku dan bahan baku yang rusak sesuai prosedur (membuat dokumen BC 2.4, pemusnahan disaksikan pejabat Bea dan Cukai dari KPPBC yang mengawasi dan dibuatkan berita acara pemusnahan). Setelah itu, perusahaan melaporkan pemusnahan ke KITE dengan membuat laporan BCL-KT01 untuk laporan penggunaan barang dan/atau bahan asal impor yang mendapat pembebasan BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut asal pemusnahan hasil produksi yang rusak, bahan baku yang rusak, hasil produksi sampingan, sisa hasil produksi ke DPIL. Setelah beberapa lama, laporan ekspor perusahaan disetujui semuanya (jaminan bank dikembalikan seluruhnya karena tidak ada lagi saldo yang harus dipertanggungjawabkan). Selanjutnya atas laporan pemusnahan yang sudah diterima oleh KITE, perusahaan diminta untuk mencabut laporan tersebut karena sudah tidak terdapat saldo yang harus dipertanggungjawabkan.

Atas kasus tersebut, perusahaan ‘jujur’ dalam melakukan penyelesaian atas sisa bahan baku dan bahan baku yang rusak, namun tidak ‘jujur’ dalam laporan ekspornya. Dengan adanya kesalahan laporan ekspor seperti itu,dalam aturan KITE belum terdapat sanksi administrasi yang seharusnya dikenakan kepada perusahaan. Dalam SPPJ memang terdapat klausul bahwa jika terdapat kesalahan dalam laporan ekspor (laporan ekspor lebih besar dari yang seharusnya), perusahaan diwajibkan membayar BM dan/atau Cukai, PPN/PPnBM ditambah denda 100% BM dan sanksi bunga 2%. Menurut hemat penulis, sanksi tersebut dapat dikenakan bagi perusahaan yang salah dalam laporan ekspor dan tidak ada dokumen BC 2.4, pemusnahan tanpa disaksikan pejabat Bea dan Cukai dari KPPBC yang mengawasi dan tanpa ada berita acara pemusnahannya.

Kedua, untuk menguji kebenaran/kewajaran laporan ekspor (BCL-KT01) dan menghindarkan terjadinya laporan pemakaian bahan baku yang senantiasa habis 100% (tanpa ada waste), hendaknya pemeriksa di KITE menggunakan data konversi yang dilampirkan perusahaan saat pengajuan SKEP. Jika mekanisme tersebut tidak dilakukan, maka akan ditemukan kuantitas pemakaian bahan baku yang berbeda-beda dalam setiap laporan ekspor meskipun jenis barang jadinya sama.

Mengingat format laporan ekspor di BCL-KT01 tidak dapat ditrasir satu barang jadi menggunakan jenis bahan baku apa saja dan dalam jumlah berapa sebagaimana dalam laporan BCL-KT02 (fasilitas pengembalian), maka pemeriksa di KITE mau tidak mau untuk menguji kebenaran/kewajaran laporan ekspor/BCL-KT01 dengan menggunakan data konversi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan disertai syarat pada dokumen laporan ekspor disertakan detail barang jadi (spek dan tipe) dan dalam data konversi juga diuraikan secara detail.

Ketiga, dalam Kep Dirjen dan Kep. Menkeu juga disebutkan bahwa Laporan ekspor/BCL-KT01 sekurang-kurangnya 6 bulan sekali, namun jika hal tersebut tidak dilakukan perusahaan ternyata tidak terdapat sanksi yang mengaturnya. Jadi kewajiban hanya kewajiban tanpa ada sanksi bagi pelanggarnya. Olehkarena itu, hendaknya setiap aturan yang dilanggar jika tidak ditaati seyogyanya ada sanksinya.

Keempat, diantara parameter yang dipakai oleh KITE untuk menyetujui atau menolak laporan ekspor adalah dengan membandingkan nilai ekspor dengan nilai impor atau membandingkan berat barang ekspor dengan berat barang impor. Nilai ekspor atau berat barang ekspor harus lebih besar atau minimal sama dengan nilai/berat impor. Perbandingan nilai ekspor dengan nilai impor tidak menjadi masalah tatkala barang impor merupakan hasil pembelian perusahaan. Namun bagi perusahaan yang hanya mendapatkan ‘fee’ atas jasa pengolahan bahan baku menjadi barang jadi dan pada PEB nilai ekspor yang diberitahukan hanya jasanya, maka syarat tersebut tidak dapat dipenuhi oleh perusahaan sehingga dapat mempengaruhi proses persetujuan laporan ekspornya.

Belum lagi kalau semua komponen bahan bakunya berasal dari impor (PIB Fasilitas) dan terdapat waste, maka berat barang eksporpun akan lebih kecil dari berat barang/bahan baku impor. Semestinya parameter perbandingan berat dan nilai dapat digunakan jika barang impor merupakan hasil pembelian dan barang jadi berasal dari bahan baku impor (fasilitas KITE) dan impor bayar serta mengandung komponen bahan baku local. Jika memang perusahaan tidak melakukan pembelian bahan baku maka parameter tersebut tidak harus dipaksakan karena kenyataannya terdapat beberapa perusahaan yang memang hanya menerima fee ‘ongkos jahit’ baik untuk perusahaan penerima fasilitas KITE ataupun Kawasan Berikat. Kalau nilai ekspor diberitahukan fee atas jasa pengerjaan ditambah nilai barang impor (dibuat dua invoice; satu untuk kepentingan Bea dan Cukai/fee ditambah nilai bahan baku, satu invoice untuk penerima barang di luar negeri/nilai fee saja), maka data ekspor Indonesia tidak akan sesuai dengan riel devisa yang akan diterima bahkan untuk uji nilai transaksi atas barang ekspor pada saat dilakukan auditpun kedapatan tidak akan sesuai.

Untuk itu, menurut hemat penulis perlu ada aturan khusus yang mengatur tentang perusahaan yang hanya menerima upah/jasa pengerjaan tanpa membeli bahan baku impor.

Kelima, adanya kesalahan input data pada PEB seringkali KITE atau perusahaan meminta bidang audit untuk melakukan audit sehingga PEB tersebut dapat dipakai untuk mempertanggungjawabkan fasilitas yang diterima atau untuk meminta haknya (fasilitas pengembalian). Sebenarnya dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 145/PMK.04/2007 tentang Ketentuan Kepabeanan dibidang Ekspor telah jelas aturannya yaitu terhadap kesalahan pemberitahuan pabean ekspor berupa jenis/kategori ekspor dan /atau jenis fasilitas yang diminta tidak dapat dilakukan perubahan. Jika aturan dalam PMK seperti itu, adakah aturan yang sederajat atau yang lebih tinggi hirarkinya yang memungkinkan bidang audit dapat merekomendasikan dilakukannya updating atas data/kesalahan PEB. Menurut hemat penulis, belum/tidak ada aturan hasil audit dapat mengupdating kesalahan PEB sehingga permohonan dari perusahaan untuk memakai PEB yang salah dapat langsung ditolak oleh KITE. Lain halnya, jika ada ketentuan bahwa audit dapat merevisi atas kesalahan PEB, maka audit dapat dijadikan sebagai jalan keluarnya.

(kutipan)

Pengajuan Skep Fasilitas Pembebasan

Fasilitas Pembebasan (pembebasan bea masuk dan/atau cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut) dapat dinikmati oleh perusahaan (importir, produsen dan eksportir) tentunya terlebih dahulu dengan mengajukan permohonan Skep Pembebasan (BCF-KT01) kepada Kepala Kantor Wilayah Bea Cukai. Dalam pengajuan Skep pembebasan ini salah satu syarat yang harus dilampirkan perusahaan adalah melampirkan daftar konversi. Daftar konversi pemakaian bahan baku menjadi lampiran yang sangat penting bagi pemeriksa di KITE karena digunakan untuk menghitung besarnya jumlah bahan baku yang akan diberikan kepada perusahaan.


Kalau ditelaah lebih lanjut, sebenarnya data konversi bagi KITE tidak hanya untuk pemberian persetujuan Skep fasilitas KITE yang diminta perusahaan, namun juga penting bagi pemeriksa laporan ekspor/BCL-KT01. Bagi pemeriksa (desk audit), data konversi tersebut sebenarnya dapat digunakan untuk menguji kebenaran/kewajaran laporan ekspor perusahaan. KITE hendaknya tidak serta merta menyetujui Laporan Ekspor yang dibuat perusahaan dengan alasan self assessment. Pemeriksa seharusnya menilai kewajaran laporan ekspor perusahaan dengan menggunakan data konversi yang diajukan perusahaan saat pengajuan Skep. Selama ini, KITE “terlalu” mengandalkan proses audit untuk menguji kebenaran laporan ekspor. Padahal terdapat perusahaan yang belum diaudit oleh bidang audit, namun sudah tidak aktif (tutup) atau karena sesuatu hal data-data tersebut hilang (akibat kebakaran/kebanjiran/pergantian pegawai dan arsip perusahaan tidak bagus serta sebab lainnya).

Selain itu, bagi bidang audit data konversi tersebut mutlak diperlukan untuk menghitung kewajaran pemakaian bahan baku (mutasi bahan baku) dan menghitung tagihan jika terdapat selisih kurang barang jadi atau penjualan lokal barang jadi.

Namun demikian, kewajiban melampirkan daftar konversi saat pengajuan Skep Fasilitas yang begitu penting bagi pemeriksa di KITE dan auditor, ternyata belum terdapat dasar hukumnya baik dalam Kep Dirjen Nomor: KEP-205/BC/2003 maupun Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 580/KMK.04/2003.

Olehkarena itu, persyaratan-persyaratan yang memang harus dilampirkan dalam pengajuan skep fasilitas seharusnya dimasukkan dalam ketentuan yang mengatur fasilitas KITE. KITE juga harus menyimpan data konversi tersebut dengan baik agar saat diperlukan data tersebut mudah untuk didapatkan. Karena kadangkala perusahaan mempunyai beberapa data konversi dan yang diberikan kepada pihak yang membutuhkan sesuai kepentingannya (tentunya yang menguntungkan perusahaan).

(kutipan)

Jumat, 22 Oktober 2010

Cerita di Balik Mundurnya Soeharto

TANGGAL 21 Mei 1998, pukul 09.00 WIB, semua perhatian tertuju ke credentials room di Istana Merdeka, Jakarta. Saat itu, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Dalam pidato yang singkat, Soeharto antara lain mengatakan, Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.
Pengumuman pengunduran diri Soeharto Kamis pagi itu sesungguhnya tidaklah terlalu mengejutkan, karena sehari sebelumnya sudah ramai dibicarakan bahwa Presiden Soeharto akan mengundurkan diri. Yang menjadi pertanyaan, apa yang mendorong Soeharto akhirnya memutuskan untuk mundur? Karena, beberapa hari sebelumnya, Soeharto masih yakin dapat mengatasi keadaan.
Kejutan ke arah mundurnya Soeharto diawali oleh keterangan pers Ketua DPR/MPR Harmoko usai Rapat Pimpinan DPR, Senin (18/5) lalu.
Tanggal 18 Mei 1998
Pukul 15.20 WIB, Harmoko di Gedung DPR, yang dipenuhi ribuan mahasiswa, dengan suara tegas menyatakan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana. Harmoko saat itu didampingi seluruh Wakil Ketua DPR, yakni Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, dan Fatimah Achmad.
Namun, kejutan yang disambut gembira oleh ribuan mahasiswa yang mendatangi Gedung DPR itu, tidak berlangsung lama. Karena malam harinya, pukul 23.00 WIB Menhankam/ Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto mengemukakan, ABRI menganggap pernyataan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri itu merupakan sikap dan pendapat individual, meskipun pernyataan itu disampaikan secara kolektif.
Walaupun sikap ABRI itu disampaikan setelah Wiranto memimpin rapat kilat dengan para Kepala Staf Angkatan dan Kapolri serta para panglima komando, tetapi diketahui bahwa pukul 17.00 WIB Panglima ABRI bertemu dengan Presiden Soeharto di kediaman Jalan Cendana. Dengan demikian, muncul dugaan bahwa apa yang dikemukakan Wiranto itu adalah pendapat Presiden Soeharto.
Pukul 21.30 WIB, empat Menko diterima Presiden Soeharto di Cendana untuk melaporkan perkembangan. Mereka juga berniat menggunakan kesem-patan itu untuk menyarankan agar Kabinet Pembangunan VII dibubarkan saja, bukan di-reshuffle. Tujuannya, agar mereka yang tidak terpilih lagi dalam kabinet reformasi tidak terlalu "malu". Namun, niat itu - mungkin ada yang membocorkan - tampaknya sudah diketahui oleh Presiden Soeharto. Ia langsung mengatakan, "Urusan kabinet adalah urusan saya." Akibatnya, usul agar kabinet dibubarkan tidak jadi disampaikan. Pembicaraan beralih pada soal-soal yang berkembang di masyarakat.
Tanggal 19 Mei 1998
Pukul 09.00-11.32 WIB, Presiden Soeharto bertemu ulama dan tokoh masyarakat, yakni Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid, budayawan Emha Ainun Nadjib, Direktur Yayasan Paramadina Nucholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indonesia Ali Yafie, Prof Malik Fadjar (Muhammadiyah), Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Sumarsono (Muhammadiyah), serta Achmad Bagdja dan Ma'aruf Amin dari NU.
Usai pertemuan, Presiden Soeharto mengemukakan, akan segera mengadakan reshuffle Kabinet Pembangunan VII, dan sekaligus mengganti namanya menjadi Kabinet Reformasi. Presiden juga membentuk Komite Reformasi. Nurcholish sore hari mengungkapkan bahwa gagasan reshuffle kabinet dan membentuk Komite Reformasi itu murni dari Soeharto, dan bukan usulan mereka.
Dalam pertemuan ini, sesungguhnya tanda-tanda bahwa Soeharto akan mengundurkan diri sudah tampak. Namun, ada dua orang yang tidak setuju bila Soeharto menyatakan mundur, karena dianggap tidak akan menyelesaikan masalah.
Pukul 16.30 WIB, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita bersama Menperindag Mohamad Hasan melaporkan kepada Presiden soal kerusakan jaringan distribusi ekonomi akibat aksi penjarahan dan pembakaran. Bersama mereka juga ikut Menteri Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng yang akan melaporkan soal rencana penjualan saham BUMN yang beberapa peminatnya menyatakan mundur.
Pada saat itu, Menko Ekuin juga menyampaikan reaksi negatif para senior ekonomi; Emil Salim, Soebroto, Arifin Siregar, Moh Sadli, dan Frans Seda, atas rencana Soeharto membentuk Komite Reformasi dan me-reshuffle kabinet. Mereka intinya menyebut, tindakan itu mengulur-ulur waktu.
Tanggal 20 Mei 1998
Pukul 14.30 WIB, 14 menteri bidang ekuin mengadakan pertemuan di Gedung Bappenas. Dua menteri lain, yakni Mohamad Hasan dan Menkeu Fuad Bawazier tidak hadir. Mereka sepakat tidak bersedia duduk dalam Komite Reformasi, ataupun Kabinet Reformasi hasil reshuffle. Semula ada keinginan untuk menyampaikan hasil pertemuan itu secara langsung kepada Presiden Soeharto, tetapi akhirnya diputuskan menyampaikannya lewat sepucuk surat.
Pukul 20.00 WIB, surat itu kemudian disampaikan kepada Kolonel Sumardjono. Surat itu kemudian disampaikan kepada Presiden Soeharto. Soeharto langsung masuk ke kamar dan membaca surat itu. Soeharto saat itu benar-benar terpukul. Ia merasa ditinggalkan. Apalagi, di antara 14 menteri bidang Ekuin yang menandatangani surat ketidaksediaan itu, ada orang-orang yang dianggap telah "diselamatkan" Soeharto.
Ke-14 menteri yang menandatangani - sebut saja Deklarasi Bappenas - itu, secara berurutan adalah Ir Akbar Tandjung; Ir Drs AM Hendropriyono SH, SE, MBA; Ir Ginandjar Kartasasmita; Ir Giri Suseno Hadihardjono MSME; Dr Haryanto Dhanutirto; Prof Dr Ir Justika S. Baharsjah M.Sc; Dr Ir Kuntoro Mangkusubroto M.Sc; Ir Rachmadi Bambang Sumadhijo; Prof Dr Ir Rahardi Ramelan M.Sc; Subiakto Tjakrawerdaya SE; Sanyoto Sastrowardoyo M.Sc; Ir Sumahadi MBA; Drs Theo L. Sambuaga; dan Tanri Abeng MBA.
Alinea pertama surat itu, secara implisit meminta agar Soeharto mundur dari jabatannya. Perasaan ditinggalkan, terpukul, telah membuat Soeharto tidak mempunyai pilihan lain kecuali memutuskan untuk mundur.
Soeharto benar-benar tidak menduga akan menerima surat seperti itu. Persoalannya, sehari sebelum surat itu tiba, ia masih berbicara dengan Ginandjar untuk menyusun Kabinet Reformasi. Ginandjar masih memberikan usulan tentang menteri-menteri yang perlu diganti, sekaligus nama penggantinya.
Probosutedjo, adik Soeharto, yang berada di kediaman Jalan Cendana, malam itu, mengungkapkan, Soeharto pada malam itu terlihat gugup dan bimbang. "Pak Harto gugup dan bimbang, apakah Habibie siap dan bisa menerima penyerahan itu. Suasana bimbang ini baru sirna setelah Habibie menyatakan diri siap menerima jabatan Presiden," ujarnya.
Probosutedjo menggambarkan suasana di kediaman Soeharto malam itu cukup tegang. Perkembangan detik per detik selalu diikuti dan segera disampaikan ke Soeharto. Dikatakan, "Saya berusaha memberikan informasi terkini, tentang tuntutan dan permintaan yang terjadi di DPR, informasi bahwa akan ada orang-orang yang bergerak ke Monas, serta perkembangan dari luar negeri," ujar Probosutedjo, seraya menambahkan bahwa pada saat itu semua anak-anak Soeharto berkumpul di Jalan Cendana. Soeharto kemudian bertemu dengan tiga mantan Wakil Presiden; Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Sutrisno.
Pukul 23.00 WIB, Soeharto memerintahkan ajudan untuk memanggil Yusril Ihza Mahendra, Mensesneg Saadillah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto. Soeharto sudah berbulat hati menyerahkan kekuasaan kepada Wapres BJ Habibie.
Wiranto sampai tiga kali bolak-balik Cendana-Kantor Menhankam untuk menyikapi keputusan Soeharto. Wiranto perlu berbicara dengan para Kepala Staf Angkatan mengenai sikap yang akan diputuskan ABRI dalam menanggapi keputusan Soeharto untuk mundur. Setelah mencapai kesepakatan dengan Wiranto, Soeharto kemudian memanggil Habibie.
Pukul 23.20 WIB, Yusril Ihza Mahendra bertemu dengan Amien Rais. Dalam pertemuan itu, Yusril menyampaikan bahwa Soeharto bersedia mundur dari jabatannya. Yusril juga menginformasikan bahwa pengumumannya akan dilakukan Soeharto 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB.
Dalam bahasa Amien, kata-kata yang disampaikan oleh Yusril itu, "The old man most probably has resigned". Kabar itu lalu disampaikan juga kepada Nurcholish Madjid, Emha Ainun Najib, Utomo Danandjaya, Syafii Ma'arif, Djohan Effendi, H Amidhan, dan yang lainnya. Lalu mereka segera mengadakan pertemuan di markas para tokoh reformasi damai di Jalan Indramayu 14 Jakarta Pusat, yang merupakan rumah dinas Dirjen Pembinaan Lembaga Islam, Departemen Agama, Malik Fadjar. Di sana Cak Nur - panggilan akrab Nurcholish Madjid - menyusun ketentuan-ketentuan yang harus disampaikan kepada pemerintahan baru.
Pukul 01.30 WIB, Amien Rais dkk mengadakan jumpa pers. Dalam jumpa pers itu Amien mengatakan, "Selamat tinggal pemerintahan lama, dan selamat datang pemerintahan baru". Keduanya menyambut pemerintahan transisi yang akan menyelenggarakan pemilihan umum hingga Sidang Umum MPR untuk memilih pemimpin nasional yang baru dalam jangka waktu enam bulan.




Tanggal 21 Mei 1988
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Kekecewaannya tergambar jelas dalam pidato pengunduran dirinya, ... Saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan ke-7, namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara-cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan Fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI.
Seusai Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya, dan BJ Habibie mengucapkan sumpah sebagai Presiden, Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto dalam pidatonya menyatakan, ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR, termasuk mantan Presiden Soeharto dan keluarga.

(kutipan)

HM Soeharto : Perwira Handal Ahli Strategi

Jenderal Besar Soeharto yang lahir di desa Kemusuk, 6 Juni 2001, menjabat Presiden Republik Indonesia kedua selama 32 tahun. Pembawaannya tenang, tutur katanya terukur dan selalu bertindak sesuai aturan, Pak Harto dijuluki the smiling general (jenderal yang murah senyum). Dia sosok pria Jawa yang kalem dan berpenampilan sederhana. Namun di balik itu semua, Pak Harto berhasil mengemban dengan baik berbagai pertempuran sengit dan tanggung jawab militer yang berat dan keras.






Rasa cinta dan ingin menyaksikan bagian lain dari tanah air adalah salah satu motivasi yang menggugah Soeharto untuk mendaftarkan diri menjadi prajurit Koninklijk Nederlans Indische Leger (KNIL). Atas penampilan fisik yang sehat dan tegap yang disertai kecerdasan otak, Soeharto belia, sejak 1 Juni 1940 diterima sebagai siswa militer di Gombong, Jawa Tengah. Enam bulan setelah menjalani latihan dasar, dia tamat sekolah militer sebagai lulusan terbaik dan mendapat pangkat Kopral di usia 19 tahun.

Pos penempatan pertama Kopral Soeharto adalah Batalyon XIII, Rampal Malang. Kemudian Soeharto masuk sekolah lanjutan Bintara, juga berada di Gombong. Karena sikap keprajuritan dan disiplinnya yang tinggi dalam waktu yang relatif singkat dia mendapat kenaikan pangkat.

Pasukan Inggris mendarat di Jakarta, 29 September 1949, atau empat tahun setelah Indonesia merdeka, untuk mengemban amanah kapitulasi Jepang. Kemudian mendarat di Semarang, Surabaya dan Bandung. Pasukan Inggris di bawah komando Brigadier Jenderal Bethel bergerak dari Semarang menuju Ambarawa dan Magelang untuk menjem-put sekutunya, yaitu interniran Belanda.

Ternyata pasukan Inggris bersikap kurang ramah, memicu amarah rakyat dan berujung insiden bersenjata. Mereka menguasai obyek-obyek penting di Kota Magelang. Ketika pecah pertempuran Ambarawa, Letkol Soeharto memimpin Batalyon X. Bersama pasukan-pasukan lain, pasukan Soeharto bertempur melawan pasukan Sekutu di Ambarawa. Untuk merebut kembali obyek-obyek vital di dalam kota, pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) didatangkan dari Banyumas, Salatiga, Surakarta dan Yogyakarta. Pasukan Inggris di Magelang dan Ambarawa, terkepung.

Empat kompi pasukan Soeharto berhasil menduduki Banyubiru. Pasukan Sekutu dipukul mundur dari Ambarawa. Sejak peristiwa itu, Soeharto mulai dikenal sebagai perwira yang cakap di lapangan dan mendapat perhatian dari Panglima Besar Soedirman.

Belanda kembali melancarkan agresi militer kedua, Februari 1949. Yogyakarta berhasil dikuasai. Letkol Soeharto dan pasukannya mengadakan konsolidasi di luar Yogya. Sepuluh hari setelah peristiwa tersebut, Soeharto dan pasukannya menyiapkan serangan balasan ke pos-pos pasukan Belanda di luar Yogya. Soeharto menyusun siasat secara seksama sebelum melakukan serangan umum ke Kota Yogya.

Menjelang fajar menyingsing 1 Maret 1949, pasukan Letkol Soeharto mulai bergerilya masuk kota Yogya. Serangan berjalan gencar dan lancar sehingga kota Yogya dapat diduduki selama enam jam. Kota Yogya berhasil direbut kembali, dan pasukan TNI merebut berton-ton amunisi dari pasukan Belanda. Namun ketika pasukan Belanda kembali dengan mesin perang dan amunisi lengkap, Letkol Soeharto segera memerintahkan pasukannya mundur kembali ke pangkalan masing-masing di luar kota Yogya.

Serangan umum tersebut, lebih dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret 1949, sebetulnya serangan yang bersifat politis untuk mendukung perjuangan diplomasi RI di PBB. Dan secara psikologis mengobarkan semangat juang rakyat untuk mendukung TNI; memulihkan, memupuk dan meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap TNI, karena TNI masih setia pada tugasnya menumpas musuh.

Peran penting lainnya yang pernah diemban Brigjen Soeharto ketika dia ditunjuk sebagai Panglima Mandala untuk membebaskan Irian Barat dari cengkraman penjajah Belanda. Soeharto berhasil. Irian Barat kembali ke pangkauan Ibu Pertiwi, 1 Mei 1963.

Tugas fenomenal selanjutnya yang berhasil diemban oleh Jenderal Soeharto adalah menumpas Gerakan PKI 30 September 1965. Saat itu, Soeharto dihadapkan pada situasi genting. G.30.S/PKI, dinihari 1 Oktober, menculik enam perwira senior TNI-AD untuk melicinkan jalan kudeta mereka melawan pemerintahan Presiden Soekarno.

Kolonel Latief yang memimpin operasi penculikan, membuang jenazah enam jenderal dan seorang kapten ke sebuah sumur tua di tengah kebun karet terlantar Lubang Buaya, Jakarta Timur, di mana para sukarelawan Pemuda Rakyat dan Gerwani, Ormas underbow PKI, sedang melakukan latihan tempur. Sementara itu pimpinan kudeta, Letkol Untung, pagi hari 1 Oktober 1965, berhasil menguasai stasiun pusat RRI untuk mengumumkan pembentukan kekuasaan Dewan Revolusi Indonesia Pusat yang disertai Dewan-Dewan Revolusi Daerah.

Pangkostrad Mayjen Soeharto memimpin operasi penumpasan G.30.S/PKI. Para pemimpin G.30.S/PKI pun ditangkap. Situasi Jakarta dan seluruh tanah air berhasil dipulihkan. Tanggal 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto mengemban surat perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno untuk membubarkan PKI, dan memulihkan stabilitas keamanan nasional dan kondisi politik Indonesia. Bung Karno melantiknya sebagai Menteri Utama Bidang Hankam dalam kabinet 100 menteri (Ampera), Juli 1966. Para demonstran siswa dan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat menuntut Bung Karno turun dan kabinet 100 menteri dibubarkan.

Di luar karir militernya, Soeharto dikukuhkan oleh MPRS menjadi Presiden RI menggantikan Bung Karno, Maret 1967. Putra dari pasangan Kertosudiro dan Sukirah ini, sejak itu menjadi pemimpin sipil sampai mengundurkan diri tanggal 21 Mei 1998. Di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia mengalami banyak kemajuan. Pembangunan di berbagai bidang kehidupan mengalami kemajuan pesat sampai munculnya krisis moneter yang menimpa sejumlah negara Asia, termasuk Indonesia, Thailand dan Malaysia, pertengahan tahun 1997. Krisis moneter tersebut memicu lahirnya krisis politik dan keamanan yang berujung pada pengunduran diri Pak Harto.

Di bidang kemiliteran, sosok Soeharto telah memimpin berbagai pertempuran dengan penuh keberanian. Pengorbanan, kegigihan dan pengabdiannya kepada negara dan bangsa, menjadikannya salah satu putra terbaik bangsa yang layak mendapat anugerah kehormatan Jenderal Besar TNI dan Bintang Sakti.

Beberapa bulan lalu (11/5-2006), Andi Samsan Nganro, hakim tunggal pra-peradilan sekaligus Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, membatalkan SKP3 dari Kejaksaan, membuka kembali perkara Pak Harto. Namun sesuai dengan fatwa Mahkamah Agung, perkara Pak Harto hanya bisa dibuka kembali bilamana jaksa mampu menghadirkan terdakwa di sidang pengadilan.

Pihak Kejaksaan sendiri sudah memutuskan untuk menghentikan penuntutan terhadap perkara Pak Harto. Sedangkan tim dokter, baik pribadi maupun negara, sudah memberi rekomendasi medis bahwa kerusakan otak Pak Harto permanen, tidak bisa disembuhkan.

Menjalani hari-hari senjanya, Pak Harto lebih mendekatkan diri pada Allah SWT, beribadah, berdoa, berzikir dan beramal untuk sesama manusia.

(kutipan)

Kamis, 21 Oktober 2010

KITE Diperpanjang Menjadi Dua Tahun

Pemerintah melalui Ditjen Bea dan Cukai memperpanjang kebijakan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dari setahun menjadi dua tahun. Kebijakan ini diambil untuk mendorong kinerja ekspor yang saat ini melemah gara-gara terimbas krisis ekonomi global.

KITE adalah salah satu kebijakan pemerintah berupa fasilitas pembebasan dan pengembalian bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Dengan kebijakan ini, maka diharapkan perusahaan di Indonesia bisa memperoleh kemudahan sehingga memperingan beban berusaha.

Industri yang melakukan impor bahan baku, memperoleh kelongaran waktu sampai dua tahun dari dulunya satu tahun untuk bisa meng-ekspor kembali produk barang jadinya. Jika masih dalam jangka waktu itu, maka pemerintah akan membebaskan atau mengembalikan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

“Kebijakan ini diberlakukan April 2009 ini dan menjadi kebijakan fiskal untuk menolong industri dalam negeri,” kata Juru Bicara Ditjen Bea dan Cukai Evy Suharyanto di Jakarta, kemarin. Selain untuk membantu industri dalam negeri, kebijakan ini juga diharapkan mampu mengenjot penerimaan bea keluar ekspor.

Selain memperpanjang KITE, Ditjen Bea dan Cukai saat ini masih mengkaji kemungkinan perubahan komposisi peruntukan pasar produk yang dihasilkan di kawasan berikat. Selama ini, produk dari kawasan berikan 70% untuk tujuan ekspor dan 30% untuk lokal. “Komposisi tersebut bisa ditinjau ulang sehingga perusahaan yang ekspornya terganggu masih bisa bertahan,” katanya.



(kutipan)

Beberapa peraturan tentang KITE

Berikut beberapa peraturan (yang mungkin berguna) terkait tentang seputar KITE :

* S-166/BC.3/2009 :
Penagihan dan Format Surat Pemberitahuan Penagihan Bunga Bea Masuk, PPN dan PPnBM atas Pencairan Jaminan Perusahaan Pengguna Fasilitas KITE
* 54/PMK.04/2006 :
Pembebasan Bea Masuk Dan Tidak Dipungut Pajak Dalam Rangka Impor Atas Pengeluaran Barang Dari Kawasan Berikat Dan Pengusaha Penerima Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) Yang Disumbangkan Untuk Korban Bencana Alam Di Provinsi Jawa Tengah Dan Daerah Istimewa Yogyakarta
* SE- 20/BC/2006 :
Penegasan Pelayanan Dan Pengawasan Kite Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pencairan Dan Penyesuaian Jaminan
* S-353/BC.2/2005 :
Perhitungan BM untuk penjualan barang jadi KB ke KITE
* Surat Edaran DJBC Nomor SE-28/BC/2003 :
Ketentuan Penggunaan Surat Pernyataan Pelepasan Hak (SPPH) Serta Penggabungan Barang Ekspor Dalam Rangka Fasilitas Pengembalian Bea Masuk dan/atau Cukai atas Impor Barang dan/atau Bahan untuk Diolah, Dirakit atau Dipasang Pada Barang Lain Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE)
* SE-26/BC/2004 :
Petunjuk Penyelesaian Permasalahan Pelayanan KITE Berkaitan dengan Laporan BCL. KT01 dan BCL. KT02

Pemimpin adalah Cerminan Masyarakatnya

Allah swt. dalam Al Qur’an sering bercerita tentang Fir’aun, supaya sosok pemimpin seperti Fir’aun tidak muncul lagi dalam hidup manusia. Cukuplah Fir’un sebagai contoh manusia paling kafir, dan jangan sampai ada lagi masyarakat yang mencetak pemimpin seperti dia. Cukuplah Fir’aun sebagai pelajaran, jangan sampai berulang lagi muncul masyarakat seperti masyarakat Fir’aun yang mau dibodohi. Padahal sebenarnya Fir’aun itu sangat lemah. Ia menjadi raja karena dapat dukungan rakyatnya. Coba rakyatnya bersepakat untuk menghancurkannya, Fir’aun pasti tidak akan berdaya apa-apa.
Sayangnya banyak manusia tidak mau belajar dari sejarah. Dari masa ke masa pemipin korup bermunculan di tengah-tengah masyarakat. Sebab memang masyarakat itu sendiri yang korup dan kotor. Akibatnya mereka seperti terjebak dalam lingkaran syetan. Mereka ingin negaranya adil dan damai. Sementara mereka sendiri korup dan kotor. Akibatnya terpilihlah pemimpin yang korup. Akibat lebih jauh, ya terimalah buah perbuatan mereka sendiri. Penderitaan demi penderitaan terus menyertai. Kesengsaraan semakin mencekam. Kelaparan di mana-mana membuat mereka tidak takut lagi untuk menempuh segala cara.



Pemimpin Korup Lahir Dari Masyarakat Yang Korup
Pemimpin yang korup lahir dari masayarakat yang korup. Masyarakat yang kotor dan suka berbuat maksiat. Masyarakat yang tidak serius menjalankan ketaatannya kepada Allah swt. Masyarakat yang suka disogok dan berani menukar idealisme dengan hanya 300 ribu rupiah atau bahkan dua liter beras atau satu kardus mie. Masyarakat yang suka main-main dan menganggap dosa adalah sesuatu yang biasa. Masyarakat yang tidak takut kepada Allah swt. Masyarakat yang tidak berwawasan luas. Masyarakat yang mau dibodohi. Masyarakat yang tidak mau belajar dari sejarah kegagalan masa lalu.
Sungguh tidak ada jalan untuk mengubah sebuah negeri kecuali masyarakatnya harus berubah. Masyarakatnya harus berwawasan luas, bukan masyarakat berwawasan kepentingan sesat. Pun bukan masyarakat yang meterialistis. Melainkan masyarakat yang berani berjuang mempertahankan idealisme. Sebab tidak mungkin masyarakat meterialistis berjuang untuk idealisme. Mereka hanya mampu bertahan ketika kebutuhan materi mereka terpenuhi.
Sungguh bila kita belajar dari perjalanan para sahabat, kita menemukan fakta masyarakat yang berani berkorban apa saja demi sebuah idealisme (baca: iman). Mereka berani hijrah meninggalkan tanah air bahkan harta dan rumah yang sangat mereka banggakan, demi idealisme. Mereka bahkan berani mengorbankan jiwa mereka dalam berbagai pertempuran demi idealisme.
Masyarakat materialistis adalah masyarakat yang mati jiwanya. Mereka hanyalah rangka berjalan, sementara jiwa mereka kosong. Seakan mereka hidup, padahal dalam jiwa mereka tidak ada kemanusiaan. Mereka bergerak bagai binatang buas, yang siap menerkam siapapun yang lemah. Kedzaliman dianggap biasa. Bahkan mereka sambil terbahak-bahak mendzalimi orang lain. Allah swt. menceritakan dalam surat Al Muthafifin 29-32: “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mu’min, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat”.

Mereka Lahir dari kebiasaan Berbuat Dosa
Perhatikan ayat yang disebut diatas, betapa kebiasaan berbuat dosa ada hubungannya dengan ketidak seriusan hidup. Mengapa?. Sebab:
Pertama, kebiasaan berbuat dosa membuat mereka tidak takut lagi kepada Allah swt. Akibatnya mereka berani melakukan segala cara, tidak peduli halal atau haram yang penting tujuan tercapai. Bila rasa takut kepada Allah swt tidak ada, maka otomatis rasa takut kepada manusia lebih tidak ada. Dari susana seperti inilah pemimpin seperti Fir’un muncul. Dan puncak keberanian Fir’un kepada Allah swt kian terlihat ketika ia berkata di depan khalayak pendukungnya: ana rabbukumul a’laa (aku tuhanmu yang paling tinggi). Di sini Fir’un menemukan dirinya sebagai yang paling berkuasa. Perhatikan betapa kebiasaan berbuat dosa telah menyeret seorang pemimpin kehilangan kontrol sehingga ia merasa bebas, bahkan ia merasa bebas dari Allah swt.
Kedua, kebisaan berbuat dosa akan mencabut keberkahan sebuah negeri. Allah swt. berfirman:
”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Al A’raf : 96-99).
Ketiga, kebiasaan berbuat dosa membuat mereka lalai akan kewajiban yang harus dipikul. Dari kelalaian ini banyak dosa-dosa dengan segala dimensinya terjadi. Akibatnya hati mereka menjadi keras. Ketika hati keras, mereka tidak tersentuh lagi dengan teguran Allah swt. Bahkan mereka semakin yakin bahwa dengan dosa-dosa itu mereka kuat dan banyak pendukung. Dari sini kebiasaan mempermainkan Allah swt, merendahkan-Nya, dan mengabaikan tuntunan-Nya, bemunculan bagai jamur. Allah swt yang memiliki langit dan bumi tidak mungkin membiarkan ini tanpa ada konsekwensinya.
Allah swt berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” QS. Al An’am : 42-44.
Keempat, kebiasaan berbuat dosa membuat mereka bersepakat untuk tolong menolong dalam dosa dan kedzaliman. Pada saat itu firman Allah swt: “Wata’aawanuu ‘alal birri wat taqwaa walaa ta’aawanuu ‘alal itsmi wal ‘udwaan. Dan tolong menolonglah dalam melaksanakan kebaikan dan taqwa. dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” tidak menjadi indah lagi.
Simaklah Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi`ar-syi`ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” QS. Al Maidah: 2.
Di sini nampak bahwa memerintahkan takwa setelah memerintahkan agar manusia saling tolong menolong dalam kebaikan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa. Ini menunjukkan bahwa tidak mungkin suatu kaum akan mencapai ketakwaan, semasih tetap berkompromi dalam kedzaliman. Cara-cara kompromi dalam rangka dosa inilah yang membantu munculnya para pemimpin yang korup. Karena itu tidak mungkin sebuah negeri dipimpin oleh seorang yang bersih dan jujur bila rakyatnya tetap kotor, terbiasa dengan dosa-dosa dan tidak pernah mau bersungguh-sungguh memahami ajaran Allah swt secara benar serta mengamalkannya secara ikhlas. Wallahu a’lam bishshawab.

(kutipan)

Gus Dur...



Islam janganlah dihayati sebagai ideologi alternatif. Ia harus dilihat sebagai hanya salah satu elemen ideologis yang melengkapi bangunan keindonesiaan yang telah terbentuk.

Demokrasi itu bukan hanya tak haram, tapi wajib dalam Islam. Menegakkan demokrasi itu salah satu prinsip Islam, yakni syuro.

Saya tidak khawatir dengan dominasi minoritas. Itu lahir karena kita yang sering merasa minder. Umat Islam --mungkin karena faktor masa lalu-- sering dihantui rasa kekalahan dan kelemahan.

Demokrasi harus berlandaskan kedaulatan hukum dan persamaan setiap warga negara tenpa mebedakan latar belakang ras, suku agama dan asal muasal, di muka-undang-undang.

Dari sudut akidah, hak orang Islam memang lebih tinggi dari penganut agama lain. Tapi, Indonesia bukan negara Islam.

(kutipan)

NIPER : Regristasi fasilitas KITE

Untuk mendapatkan Pembebasan dan/atau Pengembalian serta PPN dan PPnBM tidak dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Perusahaan wajib memiliki Nomor Induk Perusahaan (NIPER) yang diterbitkan oleh Kantor Wilayah. Untuk mendapatkan NIPER, perusahaan harus mengajukan Data Induk Perusahaan (DIPER) secara lengkap dan benar kepada Kepala Kantor Wilayah secara elektronik.

Berikut ini penjelasan singkat kegiatan pengajuan NIPER.
I. Perusahaan:

* Harus telah teregistrasi sebagai importir (memiliki nomor SPR)
* Mengisi DIPER (Data Induk Perusahaan)
* Mengajukan permohonan penerbitan NIPER. Dokumen yang dilampirkan bisa ditanyakan ke Kantor Wilayah Ditjen Bea dan Cukai

II. Kantor Wilayah Bea dan Cukai

* Melakukan penelitian administratif dan lapangan terhadap kebenaran data dalam DIPER.
* Hasil penelitian administratif dan lapangan (wawancara danpeninjauan pabrik). Penelitian ini diselesaikan dalam waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya DIPER secara lengkap dan benar.
* Memberikan persetujuan atau Penolakan terhadap permohonan NIPER selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak penelitian selesai. Jika penolakan maka disertai alasannya.

III. Setelah itu, Perusahaan:

* Menerima surat NIPER
* Memasang papan nama yang mencantumkan Nama Perusahaan dan NIPERnya
* Apabila ada perubahan data DIPER harus memberitahukan ke Kepal Kanwil DJBC

Ketentuan lain yang perlu diketahui:

* Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak NIPER diterbitkan perusahaan tidak melakukankegiatan yang berkaitan dengan pemberian Pembebasan dan/atau Pengembalian serta PPN dan PPnBM tidak dipungut, NIPER dicabut.
* Terhadap perusahaan penerima Pembebasan dan/atau Pengembalian serta PPN dan PPnBM tidak dipungut, yang NIPERnya dicabut, BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM yang terutang, bunga serta sanksi wajib dilunasi selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pencabutan.

(kutipan)

Sekilas tentang Fasilitas KITE

Fasilitas KITE adalah salah satu fasilitas dari Departemen Keuangan/Ditjen Bea Cukai untuk meningkatkan ekpor Non Migas. Definisi sesuai peraturan: Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) adalah pemberian pembebasan dan/atau pengembalian Bea Masuk (BM) dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut atas impor barang dan/atau bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor.

Jenis fasilitas KITE :

- PEMBEBASAN. Barang dan/atau bahan asal impor untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain di Perusahaan dengan tujuan untuk diekspor dapat diberikan Pembebasan serta PPN dan PPnBM tidak dipungut. Karakteristik:

* Pada saat impor bahan baku: Bea Masuk / Cukai bebas, PPN / PPnBM tidak dipungut (tetapi dengan jaminan).
* PPh Pasal 22 dibayar
* Jaminan dikembalikan setelah ekspor/jula ke Kawasan Berikat.

- PENGEMBALIAN. Barang dan/atau bahan asal impor dan/atau hasil produksi dari Kawasan Berkat untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain yang telah dibayar BM dan/atau Cukainya dan telah diekspor dapat diberikan Pengembalian.

* Pada saat impor Bea Masuk/Cukai/PPN/PPnBM bayar
* Pengembalian diberikan setelah ekspor/jula ke Kawasan Berikat


Ketentuan Umum lainnya yang perlu diketahui:

* Pembebasan atau Pengembalian juga dapat diberikan terhadap hasil produksi yang bahan bakunya berasal dari impor yang diserahkan ke Kawasan Berikat untuk diproses lebih lanjut.
* Tidak dapat diberikan Pembebasan atau pengembalian KITE terhadap bahan bakar, minyak pelumas dan barang modal.
* Hasil produksi dapat dijual ke dalam negeri setelah ekspor/jual ke kawasan berikat, maksimum 25%-nya. Tetapi tidak diberikan pembebasan atau pengembalian
* Hasil produksi sampingan, sisa hasil produksi, hasil produksi yang rusak dan bahan baku yang rusak yang bahan bakunya berasal dari impor oleh Perusahaan dapat dijual ke dalam negeri atau dimusnahkan.

Untuk mendapatkan fasilitas KITE, perusahaan harus mendapatkan NIPER (Nomor Induk Perusahaan) dari Kepala Kantor Wilayah Ditjen Bea dan Cukai.

(kutipan)

Modul KITE untuk perusahaan

Bea Cukai telah menyediakan satu aplikasi yang diperuntukkan bagi perusahaan pengguna fasilitas KITE. Aplikasi ini biasanya dinamakan Modul KITE.

Fungsi modul KITE
Modul KITE sangat berguna bagi perusahaan pengguna fasilitas KITE. Fungsi modul KITE antara lain untuk membuat dan mentransfer dokumen-dokumen fasilitas KITE. Dokumen tersebut adalah:

- BCF.KT01 (Permohonan mendapatkan pembebasan)
- BCL.KT01 (Laporan Pertanggungjawaban/Penyelesaian Fasilitas Pembebasan)
- BCL.KT02 (Permohonan/Laporan untuk mendapatkan pengembalian)
- BC 2.4 (Pemberitahuan penyelesaian barang impor fasilitas KITE selain ekspor).

Setelah mendapat NIPER, sebaiknya langsung meminta Modul KITE.
Modul KITE diberikan secara suma-cuma oleh Bea Cukai di Kantor Pusat dan di Kanwil-Kanwil. Syaratnya telah memiliki NIPER dan ada beberapa fotocopy dokumen yang diperlukan. Kalau di jakarta Modul KITE diberikan setelah kita mengikuti pelatihan. Pelatihannya juga gratis, tetapi ada jadwalnya.
Setup programnya disertai dengan kode aktivasi yang berbeda-beda antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya.
Versi program saat ini KITE versi 1.3. Kelihatannya sudah beberapa kali diupdate. Kabarnya sudah ada KITE versi 1.4 tetapi penggunanya terbatas.

(salinan)

STTJ: Bagaimana cara mengurus STTJ?

Apa yang harus dilakukan setiap kali akan melakukan impor fasilitas pembebasan KITE? Jawabnya adalah harus mendapatkan STTJ.
Perlu diingat perlengkapan yang harus telah dimiliki:

1. NIPER
2. Modul Aplikasi KITE
3. SK Pembebasan atas barang yang akan diimpor (lihat tatacara mendapatkan SK Pembebasan)
4. Modul Aplikasi PIB (optional). Jika tidak memiliki sendiri, PIB bisa dibuatkan oleh PPJK

Yang harus dilakukan untuk mengurus STTJ dan melakukan impor sbb:

Mengurus STTJ (Surat Tanda Terima Jaminan)

- Dengan Modul Aplikasi PIB
* Merekam data impor dengan Modul PIB
* Mencetak PIB
* Mentransfer PIB ke disket atau flash disk

- Menyiapkan jaminan: Jaminan Bank/Customs Bond/Surat Sanggup Bayar/Coorporate Guarantee
- Mengajukan berkas PIB + Jaminan + disket PIB ke Kanwil Bea Cukai
- Menunggu proses penerbitan STTJ (tidak lama dan bisa ditunggu, asalkan persyaratan lengkap)
- Menerima cetakan STTJ dan memeriksanya.

Mengajukan PIB ke KPPBC

- Melengkapi data PIB dengan nomor dan tanggal STTJ.
- Membayar pungutan PPh Pasal 22 dan PNBP ke Bank.
- Mentransfer data PIB ke KPPBC.
- Mengikuti proses PIB sampai mendapatkan SPPB.

Jika ada kekurangan bayar (karena penetapan KPPBC) maka harus menambah/mengganti jaminan di Kanwil Bea Cukai
Caranya:

- Menyiapkan jaminan tambahan/pengganti
- Memperbaiki data PIB, kemudian transfer ke disket
- Mengajukan ke Kanwil Bea Cukai
- Pastikan mendapatkan STTJ Pengganti/Tambahan

(kutipan)