Selasa, 26 Oktober 2010

Pengajuan Laporan Ekspor

Dalam laporan ekspor/BCL-KT01 yang disampaikan perusahaan terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian yaitu pertama, menurut hemat penulis selama ini banyak perusahaan yang melaporkan laporan ekspor (BCL-KT01 untuk laporan penggunaan barang dan/atau bahan asal impor yang mendapat pembebasan BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut asal ekspor) tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Dalam laporan ekspor, pemakaian bahan baku umumnya senantiasa dilaporkan 100% habis terpakai, padahal terdapat sisa bahan baku dan bahan baku yang rusak (waste). Karena sisa bahan baku dan bahan baku yang rusak ikut dilaporkan dalam laporan ekspor, maka saat laporan ekspor disetujui oleh KITE (terbit SPPJ), maka sudah tidak ada saldo bahan baku lagi yang harus dipertanggungjawabkan perusahaan (menurut KITE), maka jaminan pun dikembalikan ke perusahaan. Padahal, realita di perusahaan masih ada fisik atas sisa bahan baku dan bahan baku yang rusak. Sesuai aturan dalam Kep Dirjen, seharusnya perusahaan melakukan laporan tersendiri atas penyelesaian sisa bahan baku dan bahan baku yang rusak yaitu:


1. Apabila dijual, perusahaan membuat laporan BCL-KT01 untuk laporan penggunaan barang dan/atau bahan asal impor yang mendapat pembebasan BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut asal penjualan hasil produksi yang rusak, bahan baku yang rusak, hasil produksi sampingan, sisa hasil produksi ke DPIL.

2. Apabila dimusnahkan, perusahaan membuat laporan BCL-KT01 untuk laporan penggunaan barang dan/atau bahan asal impor yang mendapat pembebasan BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut asal pemusnahan hasil produksi yang rusak, bahan baku yang rusak, hasil produksi sampingan, sisa hasil produksi ke DPIL.

3. Apabila sisa bahan baku diselesaikan dengan cara membayar saldo yang masih harus dipertanggungjawabkan, perusahaan membuat laporan BCL-KT01 untuk laporan penyelesaian bahan baku asal impor yang belum diselesaikan ekspornya.

Pada umumnya atas pemakain bahan baku mesti terdapat sisa bahan baku dan bahan baku yang rusak, maka KITE dapat meminta data tersebut (prosentase waste) saat pengajuan Skep. Penulis pernah mendapati perusahaan yang telah melaporkan seluruh penggunaan bahan baku dalam laporan ekspornya dan karena terdapat ada sisa bahan baku dan bahan baku yang rusak, maka perusahaan melakukan pemusnahan atas sisa bahan baku dan bahan baku yang rusak sesuai prosedur (membuat dokumen BC 2.4, pemusnahan disaksikan pejabat Bea dan Cukai dari KPPBC yang mengawasi dan dibuatkan berita acara pemusnahan). Setelah itu, perusahaan melaporkan pemusnahan ke KITE dengan membuat laporan BCL-KT01 untuk laporan penggunaan barang dan/atau bahan asal impor yang mendapat pembebasan BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPnBM tidak dipungut asal pemusnahan hasil produksi yang rusak, bahan baku yang rusak, hasil produksi sampingan, sisa hasil produksi ke DPIL. Setelah beberapa lama, laporan ekspor perusahaan disetujui semuanya (jaminan bank dikembalikan seluruhnya karena tidak ada lagi saldo yang harus dipertanggungjawabkan). Selanjutnya atas laporan pemusnahan yang sudah diterima oleh KITE, perusahaan diminta untuk mencabut laporan tersebut karena sudah tidak terdapat saldo yang harus dipertanggungjawabkan.

Atas kasus tersebut, perusahaan ‘jujur’ dalam melakukan penyelesaian atas sisa bahan baku dan bahan baku yang rusak, namun tidak ‘jujur’ dalam laporan ekspornya. Dengan adanya kesalahan laporan ekspor seperti itu,dalam aturan KITE belum terdapat sanksi administrasi yang seharusnya dikenakan kepada perusahaan. Dalam SPPJ memang terdapat klausul bahwa jika terdapat kesalahan dalam laporan ekspor (laporan ekspor lebih besar dari yang seharusnya), perusahaan diwajibkan membayar BM dan/atau Cukai, PPN/PPnBM ditambah denda 100% BM dan sanksi bunga 2%. Menurut hemat penulis, sanksi tersebut dapat dikenakan bagi perusahaan yang salah dalam laporan ekspor dan tidak ada dokumen BC 2.4, pemusnahan tanpa disaksikan pejabat Bea dan Cukai dari KPPBC yang mengawasi dan tanpa ada berita acara pemusnahannya.

Kedua, untuk menguji kebenaran/kewajaran laporan ekspor (BCL-KT01) dan menghindarkan terjadinya laporan pemakaian bahan baku yang senantiasa habis 100% (tanpa ada waste), hendaknya pemeriksa di KITE menggunakan data konversi yang dilampirkan perusahaan saat pengajuan SKEP. Jika mekanisme tersebut tidak dilakukan, maka akan ditemukan kuantitas pemakaian bahan baku yang berbeda-beda dalam setiap laporan ekspor meskipun jenis barang jadinya sama.

Mengingat format laporan ekspor di BCL-KT01 tidak dapat ditrasir satu barang jadi menggunakan jenis bahan baku apa saja dan dalam jumlah berapa sebagaimana dalam laporan BCL-KT02 (fasilitas pengembalian), maka pemeriksa di KITE mau tidak mau untuk menguji kebenaran/kewajaran laporan ekspor/BCL-KT01 dengan menggunakan data konversi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan disertai syarat pada dokumen laporan ekspor disertakan detail barang jadi (spek dan tipe) dan dalam data konversi juga diuraikan secara detail.

Ketiga, dalam Kep Dirjen dan Kep. Menkeu juga disebutkan bahwa Laporan ekspor/BCL-KT01 sekurang-kurangnya 6 bulan sekali, namun jika hal tersebut tidak dilakukan perusahaan ternyata tidak terdapat sanksi yang mengaturnya. Jadi kewajiban hanya kewajiban tanpa ada sanksi bagi pelanggarnya. Olehkarena itu, hendaknya setiap aturan yang dilanggar jika tidak ditaati seyogyanya ada sanksinya.

Keempat, diantara parameter yang dipakai oleh KITE untuk menyetujui atau menolak laporan ekspor adalah dengan membandingkan nilai ekspor dengan nilai impor atau membandingkan berat barang ekspor dengan berat barang impor. Nilai ekspor atau berat barang ekspor harus lebih besar atau minimal sama dengan nilai/berat impor. Perbandingan nilai ekspor dengan nilai impor tidak menjadi masalah tatkala barang impor merupakan hasil pembelian perusahaan. Namun bagi perusahaan yang hanya mendapatkan ‘fee’ atas jasa pengolahan bahan baku menjadi barang jadi dan pada PEB nilai ekspor yang diberitahukan hanya jasanya, maka syarat tersebut tidak dapat dipenuhi oleh perusahaan sehingga dapat mempengaruhi proses persetujuan laporan ekspornya.

Belum lagi kalau semua komponen bahan bakunya berasal dari impor (PIB Fasilitas) dan terdapat waste, maka berat barang eksporpun akan lebih kecil dari berat barang/bahan baku impor. Semestinya parameter perbandingan berat dan nilai dapat digunakan jika barang impor merupakan hasil pembelian dan barang jadi berasal dari bahan baku impor (fasilitas KITE) dan impor bayar serta mengandung komponen bahan baku local. Jika memang perusahaan tidak melakukan pembelian bahan baku maka parameter tersebut tidak harus dipaksakan karena kenyataannya terdapat beberapa perusahaan yang memang hanya menerima fee ‘ongkos jahit’ baik untuk perusahaan penerima fasilitas KITE ataupun Kawasan Berikat. Kalau nilai ekspor diberitahukan fee atas jasa pengerjaan ditambah nilai barang impor (dibuat dua invoice; satu untuk kepentingan Bea dan Cukai/fee ditambah nilai bahan baku, satu invoice untuk penerima barang di luar negeri/nilai fee saja), maka data ekspor Indonesia tidak akan sesuai dengan riel devisa yang akan diterima bahkan untuk uji nilai transaksi atas barang ekspor pada saat dilakukan auditpun kedapatan tidak akan sesuai.

Untuk itu, menurut hemat penulis perlu ada aturan khusus yang mengatur tentang perusahaan yang hanya menerima upah/jasa pengerjaan tanpa membeli bahan baku impor.

Kelima, adanya kesalahan input data pada PEB seringkali KITE atau perusahaan meminta bidang audit untuk melakukan audit sehingga PEB tersebut dapat dipakai untuk mempertanggungjawabkan fasilitas yang diterima atau untuk meminta haknya (fasilitas pengembalian). Sebenarnya dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 145/PMK.04/2007 tentang Ketentuan Kepabeanan dibidang Ekspor telah jelas aturannya yaitu terhadap kesalahan pemberitahuan pabean ekspor berupa jenis/kategori ekspor dan /atau jenis fasilitas yang diminta tidak dapat dilakukan perubahan. Jika aturan dalam PMK seperti itu, adakah aturan yang sederajat atau yang lebih tinggi hirarkinya yang memungkinkan bidang audit dapat merekomendasikan dilakukannya updating atas data/kesalahan PEB. Menurut hemat penulis, belum/tidak ada aturan hasil audit dapat mengupdating kesalahan PEB sehingga permohonan dari perusahaan untuk memakai PEB yang salah dapat langsung ditolak oleh KITE. Lain halnya, jika ada ketentuan bahwa audit dapat merevisi atas kesalahan PEB, maka audit dapat dijadikan sebagai jalan keluarnya.

(kutipan)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Terimakasih atas penjelasannya Pak.
Sekalian mau tanya , bagaimana jika perusahaan hanya menggunakan fasilitas pengembalian BM (BCLKT02) saja, apakah diperlukan juga laporan tentang pemusnahan atas limbah bahan baku ? terutama atas bahan baku impor fasilitas KITE yg di mintakan kembali Bea Masuknya hingga 100%.

Jika berkenan mhn di cc-kan pula jawabannya ke email saya di iklan36@yahoo.com.

Terimakasih.

Salam,

Bedjo