Jumat, 22 Oktober 2010

HM Soeharto : Perwira Handal Ahli Strategi

Jenderal Besar Soeharto yang lahir di desa Kemusuk, 6 Juni 2001, menjabat Presiden Republik Indonesia kedua selama 32 tahun. Pembawaannya tenang, tutur katanya terukur dan selalu bertindak sesuai aturan, Pak Harto dijuluki the smiling general (jenderal yang murah senyum). Dia sosok pria Jawa yang kalem dan berpenampilan sederhana. Namun di balik itu semua, Pak Harto berhasil mengemban dengan baik berbagai pertempuran sengit dan tanggung jawab militer yang berat dan keras.






Rasa cinta dan ingin menyaksikan bagian lain dari tanah air adalah salah satu motivasi yang menggugah Soeharto untuk mendaftarkan diri menjadi prajurit Koninklijk Nederlans Indische Leger (KNIL). Atas penampilan fisik yang sehat dan tegap yang disertai kecerdasan otak, Soeharto belia, sejak 1 Juni 1940 diterima sebagai siswa militer di Gombong, Jawa Tengah. Enam bulan setelah menjalani latihan dasar, dia tamat sekolah militer sebagai lulusan terbaik dan mendapat pangkat Kopral di usia 19 tahun.

Pos penempatan pertama Kopral Soeharto adalah Batalyon XIII, Rampal Malang. Kemudian Soeharto masuk sekolah lanjutan Bintara, juga berada di Gombong. Karena sikap keprajuritan dan disiplinnya yang tinggi dalam waktu yang relatif singkat dia mendapat kenaikan pangkat.

Pasukan Inggris mendarat di Jakarta, 29 September 1949, atau empat tahun setelah Indonesia merdeka, untuk mengemban amanah kapitulasi Jepang. Kemudian mendarat di Semarang, Surabaya dan Bandung. Pasukan Inggris di bawah komando Brigadier Jenderal Bethel bergerak dari Semarang menuju Ambarawa dan Magelang untuk menjem-put sekutunya, yaitu interniran Belanda.

Ternyata pasukan Inggris bersikap kurang ramah, memicu amarah rakyat dan berujung insiden bersenjata. Mereka menguasai obyek-obyek penting di Kota Magelang. Ketika pecah pertempuran Ambarawa, Letkol Soeharto memimpin Batalyon X. Bersama pasukan-pasukan lain, pasukan Soeharto bertempur melawan pasukan Sekutu di Ambarawa. Untuk merebut kembali obyek-obyek vital di dalam kota, pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) didatangkan dari Banyumas, Salatiga, Surakarta dan Yogyakarta. Pasukan Inggris di Magelang dan Ambarawa, terkepung.

Empat kompi pasukan Soeharto berhasil menduduki Banyubiru. Pasukan Sekutu dipukul mundur dari Ambarawa. Sejak peristiwa itu, Soeharto mulai dikenal sebagai perwira yang cakap di lapangan dan mendapat perhatian dari Panglima Besar Soedirman.

Belanda kembali melancarkan agresi militer kedua, Februari 1949. Yogyakarta berhasil dikuasai. Letkol Soeharto dan pasukannya mengadakan konsolidasi di luar Yogya. Sepuluh hari setelah peristiwa tersebut, Soeharto dan pasukannya menyiapkan serangan balasan ke pos-pos pasukan Belanda di luar Yogya. Soeharto menyusun siasat secara seksama sebelum melakukan serangan umum ke Kota Yogya.

Menjelang fajar menyingsing 1 Maret 1949, pasukan Letkol Soeharto mulai bergerilya masuk kota Yogya. Serangan berjalan gencar dan lancar sehingga kota Yogya dapat diduduki selama enam jam. Kota Yogya berhasil direbut kembali, dan pasukan TNI merebut berton-ton amunisi dari pasukan Belanda. Namun ketika pasukan Belanda kembali dengan mesin perang dan amunisi lengkap, Letkol Soeharto segera memerintahkan pasukannya mundur kembali ke pangkalan masing-masing di luar kota Yogya.

Serangan umum tersebut, lebih dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret 1949, sebetulnya serangan yang bersifat politis untuk mendukung perjuangan diplomasi RI di PBB. Dan secara psikologis mengobarkan semangat juang rakyat untuk mendukung TNI; memulihkan, memupuk dan meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap TNI, karena TNI masih setia pada tugasnya menumpas musuh.

Peran penting lainnya yang pernah diemban Brigjen Soeharto ketika dia ditunjuk sebagai Panglima Mandala untuk membebaskan Irian Barat dari cengkraman penjajah Belanda. Soeharto berhasil. Irian Barat kembali ke pangkauan Ibu Pertiwi, 1 Mei 1963.

Tugas fenomenal selanjutnya yang berhasil diemban oleh Jenderal Soeharto adalah menumpas Gerakan PKI 30 September 1965. Saat itu, Soeharto dihadapkan pada situasi genting. G.30.S/PKI, dinihari 1 Oktober, menculik enam perwira senior TNI-AD untuk melicinkan jalan kudeta mereka melawan pemerintahan Presiden Soekarno.

Kolonel Latief yang memimpin operasi penculikan, membuang jenazah enam jenderal dan seorang kapten ke sebuah sumur tua di tengah kebun karet terlantar Lubang Buaya, Jakarta Timur, di mana para sukarelawan Pemuda Rakyat dan Gerwani, Ormas underbow PKI, sedang melakukan latihan tempur. Sementara itu pimpinan kudeta, Letkol Untung, pagi hari 1 Oktober 1965, berhasil menguasai stasiun pusat RRI untuk mengumumkan pembentukan kekuasaan Dewan Revolusi Indonesia Pusat yang disertai Dewan-Dewan Revolusi Daerah.

Pangkostrad Mayjen Soeharto memimpin operasi penumpasan G.30.S/PKI. Para pemimpin G.30.S/PKI pun ditangkap. Situasi Jakarta dan seluruh tanah air berhasil dipulihkan. Tanggal 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto mengemban surat perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno untuk membubarkan PKI, dan memulihkan stabilitas keamanan nasional dan kondisi politik Indonesia. Bung Karno melantiknya sebagai Menteri Utama Bidang Hankam dalam kabinet 100 menteri (Ampera), Juli 1966. Para demonstran siswa dan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat menuntut Bung Karno turun dan kabinet 100 menteri dibubarkan.

Di luar karir militernya, Soeharto dikukuhkan oleh MPRS menjadi Presiden RI menggantikan Bung Karno, Maret 1967. Putra dari pasangan Kertosudiro dan Sukirah ini, sejak itu menjadi pemimpin sipil sampai mengundurkan diri tanggal 21 Mei 1998. Di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia mengalami banyak kemajuan. Pembangunan di berbagai bidang kehidupan mengalami kemajuan pesat sampai munculnya krisis moneter yang menimpa sejumlah negara Asia, termasuk Indonesia, Thailand dan Malaysia, pertengahan tahun 1997. Krisis moneter tersebut memicu lahirnya krisis politik dan keamanan yang berujung pada pengunduran diri Pak Harto.

Di bidang kemiliteran, sosok Soeharto telah memimpin berbagai pertempuran dengan penuh keberanian. Pengorbanan, kegigihan dan pengabdiannya kepada negara dan bangsa, menjadikannya salah satu putra terbaik bangsa yang layak mendapat anugerah kehormatan Jenderal Besar TNI dan Bintang Sakti.

Beberapa bulan lalu (11/5-2006), Andi Samsan Nganro, hakim tunggal pra-peradilan sekaligus Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, membatalkan SKP3 dari Kejaksaan, membuka kembali perkara Pak Harto. Namun sesuai dengan fatwa Mahkamah Agung, perkara Pak Harto hanya bisa dibuka kembali bilamana jaksa mampu menghadirkan terdakwa di sidang pengadilan.

Pihak Kejaksaan sendiri sudah memutuskan untuk menghentikan penuntutan terhadap perkara Pak Harto. Sedangkan tim dokter, baik pribadi maupun negara, sudah memberi rekomendasi medis bahwa kerusakan otak Pak Harto permanen, tidak bisa disembuhkan.

Menjalani hari-hari senjanya, Pak Harto lebih mendekatkan diri pada Allah SWT, beribadah, berdoa, berzikir dan beramal untuk sesama manusia.

(kutipan)

Tidak ada komentar: